Yang termasuk dengan Farmasi Indonesia adalah termasuk masalah-masalah produksi obat, distribusi obat, pendidikan tenaga ahli, kebijakan dari pemerintah serta regulasi yang memadai, ditengah-tengah nuansa masyarakat Indonesia yang sedang berangkat dari alam tradisional menuju arah modernisasi dari pengobatan tradisional menuju pengobatan rasional.
Industri Farmasi Indonesia bertanggung jawab untuk pengadaan obat yang bermutu sesuai dengan standar CPOB dan CPMB tetapi dengan efisiensi yang tinggi sehingga produksi dan harganya dapat terbeli. Pangsa pasar Indonesia amat prospektif mengingat jumlah penduduk yang lebih dari 200juta jiwa namun kini daya beli rakyat masih kecil.
Benchmarking dalam teknologi farmasi merupakan kebijakan yang perlu diterapkan baik sejak tahap bahan baku sampai pada kemasan obat jadi. Jalan pintas produksi obat telah lama dilakukan yaitu dengan pencangkokan dan duplikasi teknologi dan formulasi farmasi, sehingga kini pangsa pasar obat generik cukup signifikan prosentasenya.
Transformasi teknologi memerlukan biaya dan ketekunan upaya, tak ada transformasi apapun yang sifatnya take it for granted alias cuma-Cuma, sehingga pada satu sisi transformasi teknologi bersifat wajib namun pilihannya harus dikaji dari segi kebutuhan dan kepentingan Indonesia, bukan karena hanya sekedar untuk mengejar “modernisasi” yang snobis.
Snobisme berorientasi pada status dan citra sosial, tetapi sering tidak disadari bahwa untuk itu perlu cost. Pada satu segmen masih banyak dosen yang membuat tesis S-2 dengan mesin ketik biasa atau menyewa jasa ketik komputer, tetapi pada segmen lain misalnya dikalangan anak muda termasuk strata mahasiswa yang mewajibkan diri memiliki komputer dengan “spec” Pentium 133, padahal sebagian besar life time komputer dipakai untuk maen game atau maen internet untuk transfer dokumen seronok.
Di dunia Farmasi Indonesia juga mengalami kenaikan biaya pengobatan (cost of therapy) karena snobism, ada modernisasi obat tetapi sifat pengobatannya berbalik dari rasional menjadi emosional. Kita semua tahu bahwa tubuh kita memerlukan vitamin dari luar termasuk vitamin C. Kini di Indonesia ternyata Redoxon Effervescens dan sejenisnya (yang mengandung 1000 mg vitamin C) lebih laku dari Bekamin C Forte (yang mengandung 250 mg vitamin C).
Dalam segmen resep-pun prospek konsumsi obat cukup besar, misalnya antibiotika merupakan segmen pasar terbesar yaitu 27% dari obat yang beredar, kemudian diikuti oleh golongan analgetika 21% dan vitamin 12%. Konsumsi antibiotika di Indonesia yang tinggi antara lain disebabkan karena para dokter Indonesia amat suka menuliskan resep antibiotika bagi penderita influenza atau infeksi saluran pernafasan atas.
Meski daya beli masyarakat untuk obat masih rendah, apalagi dengan adanya resensi dan krisis ekonomi kini, tetapi jumlah penduduk Indonesia yang besar (lebih dari 200juta jiwa) tetap merupakan jaminan terhadap prospek kehidupan Farmasi Indonesia di masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar